Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, di dalam bukunya “Why Asians are Less Creative
than Westerners” m
engemukakan beberapa hal tentang kenyataan yang ada pada bangsa-bangsa Asia.
Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, atau uang). Namun, rasa cinta terhadap sesuatu kurang dihargai. Akibatnya, kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, pengacara, dan pekerjaan sejenis yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seseorang untuk memiliki kekayaan banyak.
Selain itu, bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran kalau sekarang banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron, atau film yang bertema orang miskin mendadak kaya karena beruntung menemukan harta karun, ataupun dijadikan istri oleh orang kaya. Dan prilaku koruptif pun diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Di dalam pendidikan, metode hafalan menjadi mode dalam proses pembelajaran, bukan pada pemahaman. Ujian Nasional, Ujian Masuk PTN, semuanya berbasis pada metode hafalan. Bahkan hingga tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan menghafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya, bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus itu.
Oleh karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik untuk menjadi Jack of all trades, but master of none. Artinya, murid-murid di Asia mengetahui sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak menguasai dalam suatu hal tertentu.
Karena itu pula, banyak pelajar di Asia bisa menjadi juara dalam kontes Olimpiade Fisika, dan sejenisnya. Tapi hampir tidak pernah memenangi Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Orang Asia itu takut salah dan takut kalah. Akibatnya, sifat ingin tahu sebagai upaya untuk memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
Bagi kebanyakan orang Asia, bertanya artinya bodoh. Maka dari itu, rasa penasaran itu tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, dalam setiap seminar hanya sedikit yang bertanya selama berlangsungnya seminar. Namun, setelah selesai, peserta akan mengerumuni narasumber untuk meminta penjelasan tambahan.
Lalu, Bagaimana Mengatasinya?
Pertama, hargailah orang karena pengabdiannya, bukan karena kekayaannya.
Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban (hafalan). Biarkan siswa memahami bidang yang disukainya.
Jangan jejali siswa dengan banyak hafalan, apalagi pelajaran matematika. Logikanya, untuk apa diciptakan kalkulator jika jawaban x + y harus dihafal? Biarkan siswa memilih sedikit mata pelajaran tetapi benar-benar dikuasainya.
Biarkan anak memilih profesi berdasarkan rasa sukanya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.
Dasar kreativitas adalah rasa penasaran dan mau mengambil resiko. Maka, ayo bertanya!
Guru adalah fasilitator, bukan Tuhan yang tahu segalanya. Maka akui dengan bangga jika tidak tahu tentang suatu hal.
Rasa cinta manusia adalah anugerah Tuhan. Sebagai orang tua harus bertanggung jawab mengarahkan anak-anaknya untuk menemukan kesukaannya dan mendukungnya. Dengan demikian, akan menghasilkan anak-anak yang kreatif, inovatif, integritas, dan idealisme tinggi tanpa korupsi.
0 komentar: